Ngga dakwah,ngga romantis!
(Buku 'Inspiring Romance' Hatta Syamsuddinn,Lc)
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf,dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (QS Al Imran:110)
Pekerjaan tetap kita sebagai seorang muslim adalah berdakwah. Jauh sebelum kita mengenal berbagai jenis pekerjaan lainnya. Bukan sekedar pekerjaan tetap,namun juga pekerjaan terbaik yang dilakukan oleh orang yang terbaik di dunia ini,Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman "Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata 'Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.' (Al Fushilat:33). Pekerjaan ini hanya dibagi menjadi dua bagian yang tak terpisahkan yaitu 'aslih nafsaka, wad'u ghairaka'. Perbaiki dirimu sendiri dan dakwahi orang lain. Jika Anda merasa belum berdakwah, segera saja mulai. Sungguh berdakwah adalah profesi dengan lowongan kerja yang tak terbatas waktu, tempat dan tentu saja:gaji!
Berdakwah, mestinya sebelum menikah dan lebih-lebih sesudahnya. Namun ada kenyataan sebaliknya, setelah menikah 'rame-rame' berguguran di jalan dakwah. Dulu sebelum menikah, shalat berjamaah di masjid tidak pernah ketinggalan. Posisi shaf paling depan bak ajang kompetisi yang selalu dimenangkan. Belum lagi acara-acara dakwah seperti kajian, seminar, dauroh hingga kursus bahasa Arab, nyaris namanya selalu muncul. Baik sebagai panitia dan peserta. Barisan terdepan dalam demonstrasi, dan setiap mukhayyam lulus penuh prestasi. Halaqoh pekanan selalu datang lebih dulu dari murabbi. Mengagumkan! Tapi sekali lagi itu dulu. Beberapa dari mereka (saya ragu menyebut banyak atau sebagian), setelah menikah, mendadak berubah sekian derajat. Menurun kualitas, kuantitas dan intensitasnya dalam berdakwah. Wallahu'alam. Semoga ini belum menjadi fenomena. Sebenarnya jengah juga mengulang cerita ini. Tidak ada jaminan saya sendiri akan aman dari kondisi tsb. Wallahul musta'an. Hanya kepada Allah-lah kita memohon pertolongan.
Pertanyaan besarnya adalah mengapa harus menurun kualitas dakwah paska menikah? Jawabnya bisa beragam. Paling sering kita dengar, yang laki-laki sibuk konsentrasi dengan pekerjaan dan usahanya dalam mencari nafkah untuk keluarganya. Yang perempuan mulai disibukkan dengan serangkaian pekerjaan domestik ala ibu rumah tangga. Belum lagi jika tanda-tanda si kecil mulai muncul, maka sebagian besar waktunya mulai diisi dengan kepayahan demi kepayahan. Begitulah dan akhirnya sebagian masih terus bertengger di jalan dakwah, melangkah terseok-seok mengejar ketinggalan. Sebagian yang lainnya malah berguguran dengan mengatasnamakan idealisme masa depan dan prioritas amal. Wal iyadzubillah. Kecenderungan mendahulukan harta dan anak istri daripada berdakwah di jalan-Nya sejak lama telah diisyaratkan oleh Al Quran. Allah SWT berfirman "Orang-orang Badui yang tertinggal-tidak turut ke Hudaibiyah- akan mengatakan 'Harta dan keluarga kami, aku mohonkanlah ampun untuk kami!' Mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya." (QS Al Fath:11).
Pokok permasalahannya, jika sejak awal menikah diniatkan atas, oleh dan karena dakwah, mungkin akan lain ceritanya. Pernikahan akan menguatkan dakwah bukan melemahkan. Saling menyemangati dan bukan saling membiarkan kemalasan atas nama toleransi suami istri. Jika suami malas berdakwah, sang istri siap memberi motivasi. Begitu juga sebaliknya. Ada lagi yang tak kalah indahnya, kebersamaan dalam acara-acara dakwah, berangkat kajian berdua, antar jemput halaqah, rihlah keluarga, tak terasa akan menjaga semangat dakwah kita. Belum lagi saat demonstrasi, kepanasan berdua boleh juga. InsyaAllah tidak akan mengurangi niat kita dalam berdakwah. Bukan mencari sisi romantis dalam dakwah, tapi dengan berdakwah ternyata romantis juga bisa kita dapatkan. Idealis bukan? Harus!
Namun terkadang seiring dengan berjalannya waktu, ujian itu pasti akan datang. Menguji keteguhan kita berjalan di atas jalan dakwah ini. Saat panggilan dakwah datang, muncul kondisi yang menghalangi kita untuk menjawab panggilan dakwah tsb. Bisa berupa keluarga yang sakit, tuntutan pekerjaan atau mungkin diri kita sendiri yang sakit. Semoga ketika saat itu menjelang, kita bisa berlaku bijak tanpa ada satupun pihak yang terdzalimi.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf,dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (QS Al Imran:110)
Pekerjaan tetap kita sebagai seorang muslim adalah berdakwah. Jauh sebelum kita mengenal berbagai jenis pekerjaan lainnya. Bukan sekedar pekerjaan tetap,namun juga pekerjaan terbaik yang dilakukan oleh orang yang terbaik di dunia ini,Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman "Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata 'Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.' (Al Fushilat:33). Pekerjaan ini hanya dibagi menjadi dua bagian yang tak terpisahkan yaitu 'aslih nafsaka, wad'u ghairaka'. Perbaiki dirimu sendiri dan dakwahi orang lain. Jika Anda merasa belum berdakwah, segera saja mulai. Sungguh berdakwah adalah profesi dengan lowongan kerja yang tak terbatas waktu, tempat dan tentu saja:gaji!
Berdakwah, mestinya sebelum menikah dan lebih-lebih sesudahnya. Namun ada kenyataan sebaliknya, setelah menikah 'rame-rame' berguguran di jalan dakwah. Dulu sebelum menikah, shalat berjamaah di masjid tidak pernah ketinggalan. Posisi shaf paling depan bak ajang kompetisi yang selalu dimenangkan. Belum lagi acara-acara dakwah seperti kajian, seminar, dauroh hingga kursus bahasa Arab, nyaris namanya selalu muncul. Baik sebagai panitia dan peserta. Barisan terdepan dalam demonstrasi, dan setiap mukhayyam lulus penuh prestasi. Halaqoh pekanan selalu datang lebih dulu dari murabbi. Mengagumkan! Tapi sekali lagi itu dulu. Beberapa dari mereka (saya ragu menyebut banyak atau sebagian), setelah menikah, mendadak berubah sekian derajat. Menurun kualitas, kuantitas dan intensitasnya dalam berdakwah. Wallahu'alam. Semoga ini belum menjadi fenomena. Sebenarnya jengah juga mengulang cerita ini. Tidak ada jaminan saya sendiri akan aman dari kondisi tsb. Wallahul musta'an. Hanya kepada Allah-lah kita memohon pertolongan.
Pertanyaan besarnya adalah mengapa harus menurun kualitas dakwah paska menikah? Jawabnya bisa beragam. Paling sering kita dengar, yang laki-laki sibuk konsentrasi dengan pekerjaan dan usahanya dalam mencari nafkah untuk keluarganya. Yang perempuan mulai disibukkan dengan serangkaian pekerjaan domestik ala ibu rumah tangga. Belum lagi jika tanda-tanda si kecil mulai muncul, maka sebagian besar waktunya mulai diisi dengan kepayahan demi kepayahan. Begitulah dan akhirnya sebagian masih terus bertengger di jalan dakwah, melangkah terseok-seok mengejar ketinggalan. Sebagian yang lainnya malah berguguran dengan mengatasnamakan idealisme masa depan dan prioritas amal. Wal iyadzubillah. Kecenderungan mendahulukan harta dan anak istri daripada berdakwah di jalan-Nya sejak lama telah diisyaratkan oleh Al Quran. Allah SWT berfirman "Orang-orang Badui yang tertinggal-tidak turut ke Hudaibiyah- akan mengatakan 'Harta dan keluarga kami, aku mohonkanlah ampun untuk kami!' Mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya." (QS Al Fath:11).
Pokok permasalahannya, jika sejak awal menikah diniatkan atas, oleh dan karena dakwah, mungkin akan lain ceritanya. Pernikahan akan menguatkan dakwah bukan melemahkan. Saling menyemangati dan bukan saling membiarkan kemalasan atas nama toleransi suami istri. Jika suami malas berdakwah, sang istri siap memberi motivasi. Begitu juga sebaliknya. Ada lagi yang tak kalah indahnya, kebersamaan dalam acara-acara dakwah, berangkat kajian berdua, antar jemput halaqah, rihlah keluarga, tak terasa akan menjaga semangat dakwah kita. Belum lagi saat demonstrasi, kepanasan berdua boleh juga. InsyaAllah tidak akan mengurangi niat kita dalam berdakwah. Bukan mencari sisi romantis dalam dakwah, tapi dengan berdakwah ternyata romantis juga bisa kita dapatkan. Idealis bukan? Harus!
Namun terkadang seiring dengan berjalannya waktu, ujian itu pasti akan datang. Menguji keteguhan kita berjalan di atas jalan dakwah ini. Saat panggilan dakwah datang, muncul kondisi yang menghalangi kita untuk menjawab panggilan dakwah tsb. Bisa berupa keluarga yang sakit, tuntutan pekerjaan atau mungkin diri kita sendiri yang sakit. Semoga ketika saat itu menjelang, kita bisa berlaku bijak tanpa ada satupun pihak yang terdzalimi.
Akhirnya dakwah ini memang mmbutuhkan ketegaran. Baik suami dan lebih-lebih bagi para istri. Mereka yang memilih jalan dakwah ini tentu akan dituntut untuk lebih sering berada di luar rumah, melayani umat, daripada sekedar berdiam diri di rumah tercinta. InsyaAllah semua mendapat keutamaan. Baik para suami yang berjuang di luar rumah juga para istri yang menunggu dengan setia di tempat tinggalnya.
copas dari notes...erni kurniasih (di facebook)
Komentar
Posting Komentar